Berawal dari goresan pena dapat membuat orang begitu bahagia. Berawal dari goresan pena dapat membuat orang sengketa berkepanjangan. Berawal dari goresan pena dapat membuat yang baik dinilai buruk dan yang buruk dinilai baik. Dengan goresan pena inilah seseorang dapat dikenang ilmunya walaupun ia sudah meninggal dunia.
Maka mari kita semua untuk selalu belajar menulis dalam kondisi yang bagaimanapun, karena menulis tidak mengenal batas waktu, fasilitas dan daerah. Buya hamka saja mampu menulis tafsir al azhar di dalam sebuah penjara yang begitu tidak nyamannya.
Mampukah kita?
Ayok belajar menulis terus.
Sabtu, 10 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Jadi penulis kok kayaknya enak. Itu pikiran yang jamak muncul di benak banyak orang.
Tapi jadi penulis itu ternyata tidak terlalu gampang. Kalau mau teoritis ada fase-fase, tahap-tahap yang mesti dilalui.
Tahap pertama : Menentukan orientasi
Sepertinya tahap awal yang pasti kepentok oleh seseorang yang tertarik dunia kepenulisan adalah masalah orientasi (atau pada beberapa orang justru bukan tahap awal tapi tahap - tahap berikutnya ketika orang tersebut menemui kejenuhan).
Kalau di atas judulnya menentukan orientasi, tapi pada praktiknya malah menemukan orientasi itu sendiri sudah jadi perkara yang lumayan sulit.
Untuk apa saya menulis?
Mungkin itu pertanyaan yang bisa mewakili. Untuk uang? popularitas? untuk berbagi pemikiran dengan orang lain? Untuk berdakwah? Atau untuk apa?
Orientasi ini bisa jadi semacam tujuan. Titik akhir yang dituju dan dicapai melalui aktivitas menulis.
Akibatnya mungkin tidak bijak (meski tidak salah) kalau uang dan popularitas yang dijadikan tujuan. Kenapa? Karena kalau kemudian keduanya sudah tercapai, otomatis kita bisa leren atau berhenti dari kegiatan menulis. Tapi mungkin juga tidak demikian. Karena kaya dan terkenal itu selalu relatif. Sudah kaya sekian bisa saja lahir keinginan untuk lebih kaya. Sudah terkenal sedunia, mungkin saja ingin terus tambah terkenal jadi sedunia dan akhirat.
Lalu orientasi apa yang paling tepat? Itu saya tak kuasa menjawab, karena sesungguhnya akan kembali pada pribadi masing-masing, untuk apa sampeyan menulis atau kenapa sampeyan menjadi penulis.
Tapi yang saya kira penting adalah menemukan dan kemudian menentukan orientasi ini terlebih dahulu. Bisa saja kita keukeuh bin keras kepala mengatakan : pokoke nulis ya nulis sajalah. entah mau jadi apa, atau untuk apa.
Tapi yakinlah -apa yang dikatakan saya, meski saya bukan Rudy-tanpa orientasi, kegiatan menulis tidak akan punya kompor yang sehat. Seperti kompor yang diminyaki minyak tanah hasil oplosan, nyala api perjuangan si penulis akan mudah padam karena kompornya pun hidup-segan-mati-tak mau.
Parahnya menemukan dan menentukan orientasi saja, bisa jadi proyek kontemplatif yang berkepanjangan. Dan akibatnya -- ini yang sering dijadikan alasan para penyuka pandangan : pokoke nulis saja -- menulisnya sendiri tidak jadi-jadi, karena kita sibuk bercengkerama dengan bintang, menyapa Tuhan atau hantu (terserah anda) dan bertanya-tanya dalam desir angin malam seiring seruputan kopi dan isapan kretek : saya nulis buat apa?
Perkara menulis yang nggak jadi-jadi ini padahal sudah memasuki tahap kedua. Jadi meski tahap pertama tadi belum selesai, mari kita pending dulu dan masuk ke tahap berikutnya. (Lha... gimana sih? Aesh... ikut ajalah...)
Tapi sebelum ditutup ini tahap pertama, yang jadi kata kunci mungkin begini : Apapun orientasi yang ditemukan dan ditentukan, orientasi itu hendaknya bisa mendorong suatu hasrat cinta yang murni akan aktivitas menulis. Karena katanya hanya dengan mencintai, suatu kegiatan bisa terasa jadi nikmat. Dan katanya pula, api cinta itu bisa jadi energi yang maha dahsyat dan mengalahkan segala bentuk sumber-sumber energi lainnya.
Mungkin ini bisa jadi boomerang buat kehidupan sosial seseorang, kalau orientasinya justru diletakkan atas nama suatu aktivitas lain. Orientasi menulis karena pacaran, misalnya. Bisa jadi supaya aktivitasnya berjalan terus si orang tersebut, malah jadi pacaran terus dan nggak kawin-kawin, atau lebih jelek lagi selalu berganti cari pacar baru, supaya api cinta menulisnya nggak padam-padam. Ini repot dan saya harap yang terdorong melakukan ini menanggung sendiri resikonya dan tidak menisbatkan akibatnya pada saya.
***
Tahap Kedua: Memacu produktivitas
Sewaktu seseorang sudah kepengen betul menjadi penulis. Biasanya masalah yang muncul kemudian adalah masalah produktivitas.
Gimana nih.. kok saya macet?
Gimana nuh.. kok cerpenku nggak jadi-jadi?
Gimana neh.. kok otakku serasa buntu?
Gimana noh.. kok rasanya malas banget?
Nah.. nih-nuh-neh- noh.. macam begitu sering sekali muncul di kalangan teman-teman penulis, termasuk di dalam posting keluh-kesah di milis-milis kepenulisan.
Meski satu jawaban pokok dari masalah nah-nih-nuh- neh-noh tadi adalah terkait dengan orientasi, tapi setelah melalui survei-survei nggak-jelas-yang-tak- dapat-dipercaya, ada beberapa permasalahan "kulit" yang ditengarai jadi sumber kemacetan produktivitas.
Pertama soal ide. Masalah tidak ada ide, kurangnya ide, atau merasa idenya jelek
biasanya jadi masalah besar yang mendorong seseorang jadi stuck, macet, dan lebih senang bergumul dengan guling ketimbang dengan pena dan kertas (atau keyboard dan layar monitor).
Kalau mengikuti pola keep it simple stupid, sebenarnya setiap permasalahan mudah dicarikan jawabannya. Kalau tidak ada ide atau kurang ide sebenarnya bicara masalah kuantitas (jumlah) ide, maka cara paling mudah adalah dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Kalau masalahnya idenya dirasa jelek yang berarti kualitas, maka seperti pada sosok manusia yang kurang rupawan, langkah terbaik adalah dengan mendandani, dibedakin, dipoles gincu, atawa seperti benda sudah bongkrek alias rongsokan, tidak ada alternatif lain selain dimodifikasi abis kayak sepeda montor buat trek-trek'an.
Di sini kita bicara soal pola sistematis dalam pengarsipan ide. Membuat bank ide adalah satu upaya yang mudah direncanakan, tapi sulit dikerjakan. Teknisnya gampang. Beli satu buku, notes atau daun lontar. Tulis setiap ide yang nyangkut di kepala, dilihat oleh mata, didengar oleh telinga atau dicium baunya. Ide hasil mikir sendiri, minjem atau nyuri, nggak jadi masalah selama masih dalam bentuk bank ide.
Untuk ide pinjeman atau curian, tentunya pengembangan atau modifikasi bisa jadi sah, ketika kita mau minta ijin dulu sama yang punya aslinya. Dalam bahasa intelek nantinya kita bilang : "terinsiprasi" .
Bank ide, merupakan satu sumber pembiayaan dalam kativitas kita menulis. Kurang ide, ambil saja dari Bank ide. Tapi seperti hakikatnya bank, pola ambil ini sebaiknya diterapkan dengan pola "pinjam". Yang namanya pinjam selalu dibalikin lagi, dan dalam konteks bank, yang namanya ngembaliin selalu dengan bunga sekian persen.
Setiap kali kita mengambil satu ide, pacu diri untuk berhutang, dan paksakan menuliskan ide-ide baru pada bank ide sebagai setoran pinjaman berikut bunganya. Artinya, kita akan mengusahakan sendiri supaya bank ide kita tidak pernah kering dan pailit.
*
Masih dalam soal kemacetan, hal yang kedua adalah soal ketidakmampuan menjabarkan ide dengan baik dan benar.
Seringkali, ide sudah numpuk, atau bahkan terlalu luber hingga meleleh-leleh keluar dari telinga. Tapi apa daya, tetap saja untuk berberapa orang, menuangkan ide menjadi sebuah tulisan yang bernas, menarik, dan sesuai dengan keinginan hati, ternyata tidak semudah membalikkan telapak gajah.
Membalikkan telapak gajah memang berat. Jadi wajar kalau susah. Demikian pula menuangkan ide menjadi tulisan yang bagus, memang pula tidak mudah. Itu mengapa anda dan saya masih belum jadi penulis juga. (Yang sudah jadi penulis dilarang ikutan..)
Tapi, seperti kalau Liem Swie King ditanya : Bagaimana jalan menuju Senayan? Dia tidak akan menjawab naik angkot nomor sekian, atau jangan harap pula ia menawarkan naik taksinya (sebab setahu saya Liem Swie King sudah jadi pengusaha dan bukan pengusaha taksi). Ia akan menjawab tegas dan praktis dengan satu kata : LATIHAN.
Berlatih, adalah satu proses yang mesti dilalui. Menyebalkan memang. Apalagi kalau latihan gencar sudah dilakukan, tapi nggak juga kualified untuk maju perang. Di saat ini, bolehlah menghibur hati dengan membandingkan latihan menulis, dengan latihan marinir yang mesti manjat tembok, nyebrang rawa, nari ular sambil tiarap di ladang
ranjau, atau berlarian di antara desing peluru. Latihan menulis itu tidaklah berat, dan latihan menulis itu tidak membentuk otot. Jadi tidak perlu takut betis bakal gede, atau perlu obat gosok untuk punggung setiap malam.
Terlebih lagi dengan latihan menulis sebenarnya kita sudah menembus satu tembok barrier yang bernama produktivitas. Latihan menulis selalu punya hasil. Meski satu paragraf, atau satu kalimat, tapi yakinlah -meski sekali lagi saya namanya bukan Rudy- bahwa satu kalimat yang bernas, menarik untuk hati dan terasa sangat pas,
akan berguna dan bermanfaat untuk amunisi kita dalam berjibaku dengan lawan-lawan thema yang lain.
Jadi kalau anda masih baca terus tulisan ini, dan tidak langsung berlatih menulis. Sebenarnya di satu sisi saya akan kecewa. Tapi tentu saja lebih kecewa kalau anda melaksanakannya, karena masih ada banyak yang mau saya sampaikan berikutnya.
*
Masalah ketiga, dalam hal kemacetan menulis, masih dalam hal penuangan ide. Meski ini tahapnya adalah finishing atau penyelesaian akhir. Seringkali kita sudah ngubak-ngabek area kotak 16 meter di gawang lawan, dan menghasilkan begitu panjang tulisan. Berparagraf-paragraf sudah ditulis, beratus-ratus kalimat sudah tertuang, tapi masih tetap terasa tulisannya tetap kurang.
Saya kira it's ok. Kurang dalam konteks ini bukan hal yang tabu, dan bukan sesuatu yang salah. Belum pernah saya menemukan tulisan saya sendiri kemudian terlihat kurang... ajar, terutama pada saya sendiri. Nggak ada huruf yang tiba-tiba nempeleng dari belakang, atau ngejentulin kepala saat saya meleng. Kalaulah ada pasti anda pun
tidak akan membakar kertasnya, karena pasti sudah terbirit-birit ketakutan saat ada huruf nempeleng, ngejentulin, atau sekedar menjulurkan lidah -ngelewein kata orang jawa.
Ketika masalahnya kurang, yang kembali bermakna kualitas. Maka satu-satunya cara cuma memperbaiki. Untuk bisa memperbaiki, satu patokan tentu saja adalah dengan terlebih dahulu mengetahui bentuk yang lebih bagus dan lebih sempurna. Dan kalau bicara soal tulisan, mengetahui tulisan yang bagus tidak bisa lain, kecuali dengan membaca.
Bacalah banyak-banyak, dan bacalah apa saja. Buku anak-anak-cerpen-novel-kisah misteri-detektif- roman percintaan-puisi- primbon-kitab suci, sampai iklan baris di harian ibukota.
Dan jangan salah, ketika membaca ini, selain akan menambah amunisi kita soal pemahaman bentuk karya yang bagus, juga akan berkaitan dengan permasalahan ide yang telah dibahas tadi. Dengan membaca seringkali ide-ide segar muncul. Tidak harus meniru, plagiat, menjiplak, atau mencaplok mentah-mentah karya orang atau ide orang
lain.
Percayalah dan yakinlah --sekali lagi meski...aesh sudahlah jangan diulang terus soal bukan si Rudy ini-- bahwa cara kerja otak pemberian Tuhan ini sama misteriusnya seperti sang pemberi itu sendiri.
Otak kita sering kali akan menemukan cara untuk menggali ide yang boleh jadi bertolak belakang sama sekali dengan apa yang kita baca, tapi tetap muasalnya terinspirasi dari bahan bacaan tersebut.
Permasalahan yang keempat dalam hal kemacetan menulis, adalah apa yang seperti saya temukan sekarang ini ketika ingin menulis uraian masalah keempat. Karena tidak kunjung menemukan, lalu saya putuskan perihal keempat ini dilewatkan saja, dan kembali pada urutan bahasan tentang tahap. Gampang dan mudah bukan? Semoga tidak ditiru.
***
Tahap ketiga: Berusaha eksis di dunia kepenulisan
Sedikit mengulang tahap-tahap sebelumnya, setelah orientasi diperoleh dan seorang penulis telah melampaui masalah produktivitas, maka permasalahan baru muncul yaitu masalah eksistensi.
Meski ini tetap terkait dengan masalah orientasi, tapi dalam dunia sekarang ini, tetap kurang afdol rasanya kalau seseorang menyatakan dirinya sebagai penulis, tapi karyanya belum pernah dibaca orang lain.
Masalah dibaca ini sebetulnya sederhana. Cuma tok masalah dibaca saja. Artinya kemudian bisa saja kita atasi dengan mencetak dengan printer rumahan, memfotocopy dan membagi-bagikan tulisan kita di jalan. Menyebarnya door to door sebagai tulisan gratisan, atau lebih ekstrim lagi kita tempel saja di jalan-jalan raya, halte, atau papan-papan pengumuman yang disediakan untuk menempelkan kertas-kertas iklan.
Cara yang sebenarnya sama, tapi lebih elegan, misalnya dengan ikut mailing list dan memposting karya-karya kita, membuat situs atau blog sendiri yang memajang karya-karya kita dan atau memajangnya di situs-situs yang khusus memajang karya-karya tulisan.
Tapi masalahnya tidak sesederhana itu, ketika perihal "dibaca orang lain" kemudian dikaitkan dengan industrialisasi dalam dunia kepenulisan. Ini artinya kita bicara soal media massa, soal penerbitan, soal karya kita dimuat di koran, atau dibukukan.
Perihal dimuatnya di koran atau media massa pun tidak cuma masalah dimuat saja. Karena kalau hanya soal itu, bisa saja kita memuat cerpen kita sebagai iklan baris. atau iklan display setengah halaman. Tapi tidak pernah ada yang cukup gila untuk mencoba melakukan hal ini, kecuali beberapa waktu lalu saat saya melihat ada tulisan
berbentuk surat yang dimuat sebagai iklan. (ingat surat dukungan kenaikan BBM?... jangan berprasangka buruk dulu... maksud saya sebenarnya surat Thiere Henry untuk fans arsenal). Tapi berhubung penulisnya tokoh-tokoh papan atas di negeri ini, jadi saya pikir, masalah eksistensi dalam dimensinya memang berlainan dengan dimensi
seorang penulis.
Meski bau-bau kapitalisme, orientasi uang (money oriented) mau tidak mau bisa dikatakan tercium santer dalam tahap ini, tapi memang demikianlah adanya dinamika kehidupan penulis. Dan (parahnya) kemudian, nilai eksistensi seorang penulispun dipatok dari sudut pandang industrialisasi dunia kepenulisan ini.
Pendek kata, seseorang belum diakui jadi penulis, kalau karyanya belum dimuat di koran atau bukunya belum dibukukan.
Masalah kebenaran pernyataan itu, tentu bisa diperdebatkan semalam, atau bermalam-malam suntuk. Tapi saya yakin [i]-dan saya kira Rudy pun akan setuju-[/i] apapun hasil perdebatannya, tidak akan bisa menafikan pola yang memang sudah hidup dalam dinamika masyarakat modern sekarang ini.
Jadi mempersingkat waktu yang bermalam-malam suntuk itu, ada baiknya kita terima saja, bahwa seseorang harus mampu menembus media massa atau penerbitan untuk bisa menembus tahap eksistensi dirinya sebagai penulis. Lagipula segala sesuatu bisa disiasati dan memang untuk tujuan mensiasati itulah tulisan ini dibuat.
Satu kenyataan yang pahit-pahit manis, saya temukan dalam aktivitas saya hadir pada dua acara kepenulisan.
Ternyata satu teknik solusi yang mujarab untuk bisa eksis, yang dalam bahasa praktisnya (sudah disepakati diatas) adalah berarti menembus dunia industri media massa dan penerbitan adalah dengan pola kolusi dan nepotisme.
Pahit? Mungkin iya.. Salah? Eits... nanti dulu. Kalau istilah kolusi dan nepotisme terasa begitu negative karena biasanya ditempelkan berdekatan dengan korupsi sehingga membentuk jargon KKN yang sangat terkenal, menakutkan sekaligus berbau tidak sedap, kolusi dan nepotisme dalam dinamika kehidupan penulis tidaklah demikian sangit baunya.
Berkenalan dan berakrab-akrab ria dengan sesama penulis, penggiat di dunia tulis menulis, redaktur, editor, penerbit, ternyata merupakan satu cara yang ampuh dan mujarab untuk bisa meneguhkan eksistensi seorang penulis -dalam pengertian agar karyanya bisa tembus industri tadi.
Dan ini tidaklah menjadi sesuatu yang salah. Katakanlah kita berkenalan dengan seorang redaktur senior, lalu bisa terlibat ngobrol-ngobrol dengannya, bertukar pandangan sehingga beliau bisa memetik beberapa keindahan ide dalam benak kita. Ketika ini terjadi, maka segala kemungkinan akan terbuka. Peluang akan terbentang, dan seperti ujar-ujar dalam sebuah iklan selanjutnya akan terserah anda.
Hal yang sama juga terjadi ketika sosok yang diajak ngobrol tadi bukan seorang redaktur, tapi pengarang senior, editor, pemilik penerbitan atau mungkin penulis skenario senior, pemilik rumah produksi, sutradara, atau sosok-sosok lain.
Yang terpenting, membuka tali hubungan atau relasi dalam dunia kepenulisan ternyata sama penting seperti dalam dunia bisnis pada umumnya. Tidak aneh bukan? Industri tetap industri, apapun bentuknya.
Tanpa kita harus melakukan praktek-praktek tidak senonoh seperti suap menyuap, menjual diri dan atau perilaku-perilaku negative lainnya, membuka relasi merupakan satu upaya penting dan bermanfaat yang tetap berada dalam koridor sah, dan halal, selama tetap dipertahankan demikian.
Memang itu bukan alternatif satu-satunya, dan mungkin pula bukan alternatif terbaik. Namun sekali lagi kalau kita mau bicara dan berdebat soal-soal filsafati soal "terbaik" kita bisa menghabiskan waktu bermalam-malam tanpa menemukan satu kepastian yang hakiki.
Membuka relasi bagi seorang penulis, adalah satu cara yang dapat ditempuh, agar bisa mengalahkan tahap eksistensi. Meski kini banyak penulis yang menggunakan sarana komunikasi duniamaya untuk berinteraksi dengan komunitas-komunitas di atas, tapi menurut saya pribadi, itu tidak cukup. Temuilah muka demi muka. Berkunjung ke
rumah. Berteman sebagai sahabat di dunia nyata.
Mungkin terlalu terkesan oportunistik? atau terkesan machiavelistik? Saran saya, jangan terlalu menyiksa diri anda.
Membuka relasi, pada hakikatnya adalah membuka simpul-simpul silaturahmi. Masalah menjadi eksis, bermanfaat untuk eksistensi, letakkanlah pada nomor urut ke sekian dalam benak anda. Biar nggak jadi keren dan beken, yang penting punya teman. Yang penting bisa menimba ilmu, yang penting bisa memacu anda untuk terus menulis,
untuk berkarya. Kalau anda bisa berbahagia dengan itu, maka eksistensi pun sebenarnya akan menjadi sirna dengan sendirinya dari benak anda, dan muncul secara nyata dalam kehidupan.
Terlebih lagi, berkomunikasi secara intens dengan pelaku-pelaku dunia kepenulisan, sesungguhnya seluruh tahap-tahap yang dikemukakan di awal tulisan ini, dapat kembali ditelusuri dan dikaji ulang.
Ngobrol dengan penulis-penulis, melakukan pertemuan intens yang mungkin diisi dengan saling tukar-menukar karya, membahas kekurangan-kelebihan, secara otomatis akan sesekali diselingi ngobrol-ngobrol soal-soal pendalaman orientasi. Di sini kita akan menemukan pencerahan baru, akan menemukan sisi-sisi pemikiran para penulis lain, tentang orientasi masing-masing pribadi.
Demikian pula halnya ketika sosok yang diajak bicara adalah redaktur, editor, pemilik penerbitan, penulis skenario, pemilik rumah produksi, pembuat film, sutradara, dan lain-lainnya.
Sama halnya untuk tahap produktivitas, dengan berkumpulnya seorang penulis dengan komunitas-komunitas di atas, produktivitas akan menemukan jalannya sendiri. Entah berbentuk order atau pesanan yang secara langsung memacu produktivitas, entah sekedar berbentuk semangat ketika hasil bincang-bincang mendorong kita untuk berkarya, atau pun menambah wacana, menambah ide, menambah skill, dan lain
sebagainya.
Dan seperti telah diungkap di atas, melalui cara berkumpul dengan komunitas-komunitas tersebut, jalan menuju eksistensi akan semakin terbuka lebar. Bisa jadi akibat pertemuan intens baca dan bedah karya, tiba-tiba ada penulis senior yang merasa karya kita cukup berkualitas dan memberi rekomendasi, menawarkan untuk berkolaborasi, atau apapun bentuknya jalan yang mengarah pada eksistensi.
Lebih afdol lagi, kalau kemudian seorang redaktur, editor, pembuat film, sutradara atau apalah nama jabatannya, tertarik dengan karya kita yang sudah dibuat, pernah dibuat, atau bahkan baru mau akan dibuat.
Begitulah..
Menjadi penulis itu tidak gampang, tapi ternyata tidak terlalu sulit. Kalau dipetakan fasenya hanya tiga. Meski pasti banyak cabang-cabang tahap lain. Meski banyak aral rintangan lain yang tidak terpetakan dalam tulisan ini.
Sumber: http://mediacare.blogspot.com/2007/06/tips-gratis-menjadi-penulis.html
Posting Komentar